Debat Ilmiah: Kenapa Kita Harus Kaya Raya Jika Ujungnya Mati Juga


Debat Ilmiah: Kenapa Kita Harus Kaya Raya Jika Ujungnya Mati Juga

Di sebuah aula kampus, berlangsung debat ilmiah antara Profesor Logis, seorang pemikir rasional yang gemar membahas filosofi kehidupan, dan Tuan Santai, seorang pria sederhana yang terkenal dengan logika uniknya. Topiknya cukup kontroversial: "Kenapa Kita Harus Kaya Raya Jika Ujungnya Mati Juga?"


Profesor Logis:
"Saudara-saudara, mari kita mulai dengan fakta dasar. Kekayaan itu penting. Dengan kekayaan, kita bisa hidup nyaman, mendapatkan pendidikan terbaik, menjaga kesehatan, dan membantu sesama. Kekayaan adalah alat untuk mencapai kehidupan yang lebih baik."

Tuan Santai:
"Profesor, saya setuju kalau kekayaan itu alat. Tapi kenapa harus kaya raya? Kalau cuma alat, ya beli secukupnya aja, kan? Masa beli martabak, pakai beli wajan satu toko?"

Profesor Logis:
(senyum tipis)
"Ini bukan soal membeli wajan, Tuan Santai. Kekayaan raya memungkinkan kita untuk memberikan dampak yang lebih besar pada dunia. Bayangkan, dengan kekayaan, kita bisa membangun sekolah, rumah sakit, bahkan menyelamatkan lingkungan."

Tuan Santai:
"Oh, jadi kaya raya itu buat nolong orang lain, ya? Tapi gimana kalau orang yang kaya malah jadi pelit? Bukannya nolong, mereka malah sibuk beli barang-barang aneh kayak pulau pribadi atau toilet emas!"

Profesor Logis:
(sedikit terdiam)
"Memang, ada orang seperti itu. Tapi itu tergantung pada moralitas individu. Pada dasarnya, kekayaan adalah peluang. Bagaimana kita menggunakannya tergantung pada niat kita."

Tuan Santai:
"Kalau gitu, mending nggak usah kaya raya, Prof. Orang nggak kaya aja bisa nolong orang lain. Lihat tukang bakso, tiap Jumat kasih gratis ke anak yatim. Nggak perlu punya yacht dulu baru bisa nolong."

Profesor Logis:
"Benar, tapi bukankah lebih baik jika kita bisa membantu dalam skala yang lebih besar? Menjadi kaya raya bukan hanya soal diri sendiri, tapi soal memberi manfaat bagi banyak orang."

Tuan Santai:
"Tapi Prof, ujung-ujungnya kan mati juga? Semua yang kita kumpulin nggak bisa kita bawa. Nggak ada ceritanya orang masuk kubur bawa rekening bank."

Profesor Logis:
"Itu betul. Kekayaan memang tidak bisa dibawa mati. Tapi yang bisa kita tinggalkan adalah warisan—baik itu dalam bentuk karya, kontribusi sosial, atau inspirasi bagi generasi berikutnya."

Tuan Santai:
(sambil mengangguk)
"Oke, Prof. Tapi kalau saya jadi kaya raya, saya takut malah jadi repot. Takut dirampok, takut kehilangan, takut orang datang cuma buat manfaatin saya. Hidup sederhana kan lebih damai?"

Profesor Logis:
"Kekayaan memang membawa tanggung jawab besar, tapi itu bukan alasan untuk menghindarinya. Dengan manajemen yang baik, kita bisa menikmati kekayaan tanpa kehilangan kedamaian."

Tuan Santai:
"Jadi intinya, kaya raya itu buat nyari damai atau repot? Kalau damai, saya udah damai kok dengan teh manis dan gorengan. Kalau repot, ya mending nggak usah."

Profesor Logis:
"Tuan Santai, hidup itu soal pilihan. Kekayaan adalah pilihan, bukan kewajiban. Yang penting adalah bagaimana kita memaknai hidup, entah kaya atau tidak."

Tuan Santai:
(sambil tersenyum lebar)
"Jadi saya boleh milih nggak jadi kaya raya, dong? Kan yang penting saya bahagia, walau cuma punya uang buat beli gorengan."

Profesor Logis:
"Tentu saja, bahagia itu kunci utama. Tapi jangan lupa, kalau tiba-tiba ada rezeki jadi kaya, jangan takut untuk menggunakan kekayaan itu demi kebaikan."

Tuan Santai:
"Oke, Prof. Kalau saya jadi kaya raya, saya traktir gorengan semua orang di kampus ini. Tapi sekarang traktirnya bisa mulai dari Prof dulu, kan?"

Seluruh aula pun tertawa. Pada akhirnya, mereka sepakat bahwa kekayaan hanyalah alat, dan yang paling penting adalah bagaimana kita menjalani hidup dengan bahagia dan bermakna.

Advertisement