LUCUNYA POLITIK BANSOS DEMI KEKUASAAN

Di sebuah negara fiktif, ada seorang pemimpin bernama Pak Sontoloyo yang ingin terus melanggengkan kekuasaannya. Dia punya rencana jitu: memberikan bantuan sosial (bansos) untuk rakyat miskin, sambil secara diam-diam menaikkan pajak untuk menekan kelas menengah. Tujuannya, rakyat miskin akan senang dan terus mendukungnya, sementara kelas menengah akan terlalu sibuk mengurus pajak yang melonjak sehingga tak bisa melawan.

Suatu hari, Pak Sontoloyo memanggil ajudannya, Pak Tulus, untuk berdiskusi soal strategi ini.

Pak Sontoloyo:
"Tulus, kita harus jaga supaya rakyat miskin tetap dukung kita. Aku sudah siapkan program bansos. Setiap orang miskin dapat beras, minyak, dan sedikit uang tunai. Jangan lupa, paketnya harus ada stiker besar dengan fotoku dan tulisan 'dari pemerintah yang peduli rakyat.'"

Pak Tulus (tertawa kecil):
"Wah, ide cemerlang, Pak! Jadi rakyat miskin terus merasa terbantu dan pasti memilih Bapak lagi di pemilu selanjutnya."

Pak Sontoloyo (tersenyum licik):
"Betul! Tapi ingat, bansos ini cuma buat yang benar-benar miskin. Nah, kelas menengah nggak perlu dapat bantuan. Mereka harus bayar pajak lebih tinggi! Kalau mereka protes? Kita bilang, 'ini demi pemerataan ekonomi!' Mereka nggak akan bisa melawan."

Lalu datanglah hari pembagian bansos. Pak Sontoloyo berdiri di panggung dengan senyum lebar, membagikan paket sembako kepada rakyat miskin di desa sambil berpidato.

Pak Sontoloyo:
"Bapak dan Ibu sekalian, ini adalah bukti kepedulian pemerintah kepada rakyat kecil. Kami akan selalu memperjuangkan kesejahteraan kalian! Jangan lupa, pilih saya lagi supaya bantuan ini terus ada!"

Rakyat miskin pun bertepuk tangan riuh. Mereka senang dapat sembako gratis, meskipun isinya cuma beras murah dan minyak goreng kemasan kecil. Tapi, yang penting gratis!

Di sisi lain, kelas menengah yang terdiri dari pedagang, guru, dan pegawai kantoran mulai gelisah. Pajak penghasilan tiba-tiba melonjak tinggi. Mereka bingung kenapa, padahal pendapatan mereka tidak bertambah.

Pak Budi, seorang pedagang kelontong, merasa pajaknya tiba-tiba naik drastis. Dia mengeluh kepada temannya, Bu Rina, seorang guru.

Pak Budi:
"Bu Rina, kenapa pajak saya naik terus, ya? Padahal usaha saya biasa aja. Rasanya seperti diperas habis-habisan."

Bu Rina (menghela napas):
"Iya, Pak. Pajak saya juga naik. Katanya buat pemerataan, biar orang miskin bisa dapat bantuan sosial. Tapi kok kita yang harus bayar lebih? Kalau begini terus, yang menengah kayak kita jadi makin terjepit!"

Di tengah kebingungan, kelas menengah mencoba protes. Mereka kirim surat ke kantor pajak, tapi balasannya hanya mengatakan, "Pajak naik adalah bagian dari reformasi ekonomi demi kesejahteraan bersama." Protes tak ditanggapi, sementara rakyat miskin tetap senang dengan bansos mereka.

Tiba-tiba, Pak Tono, seorang tukang becak yang menerima bansos, datang ke warung kopi dan melihat kelas menengah yang sedang mengeluh.

Pak Tono (tersenyum lebar sambil membawa kantong bansos):
"Alhamdulillah, dapat bantuan lagi! Bapak-bapak dan Ibu-ibu, kalian nggak dapat ya? Kasihan sekali, ya. Untung saya miskin, jadi saya terus dapat bantuan!"

Pak Budi (dengan wajah kesal):
"Hah, Pak Tono! Justru kami ini yang bayar pajak buat bantu Anda! Kok malah senang sih?"

Pak Tono tertawa sambil berkata, "Ya, gimana ya, Pak. Bukan salah saya kalau dapat bantuan. Bapak kan yang katanya 'orang mampu,' ya bayar pajak dong! Haha."

Kelas menengah hanya bisa mengelus dada. Mereka sadar bahwa strategi Pak Sontoloyo memang berhasil. Rakyat miskin tetap senang dan memilihnya, sementara kelas menengah terlalu sibuk mengurus kenaikan pajak.

Sementara itu, di balik meja kerjanya, Pak Sontoloyo tertawa puas. "Rencana ini berjalan sempurna. Rakyat kecil tetap mendukung, dan kelas menengah? Ah, biarkan mereka sibuk sendiri!"

Pesan moral: Kadang, strategi politik bisa memanipulasi perasaan rakyat untuk melanggengkan kekuasaan. Tapi pada akhirnya, yang paling dirugikan adalah mereka yang berada di tengah!

Advertisement